"Aku memberi wasiat kepadamu wahai penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu.
Sesungguhnya ilmu adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap alim bila tidak mengamalkan ilmunya.
Tidak ada yang lebih lemah dari kondisi seorang alim yang ditinggalkan ilmunya oleh masyarakat karena jalannya (yang kosong dari amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh masyarakat karena melihat ibadahnya.”
Tujuan ilmu adalah amal, sebagaimana tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya.
Sebagian ahli bijak berkata, “Ilmu adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak dari ilmu.”
(Iqtidhaul Ilmi Al-’Amal 14-15)
-----
“Manhaj Nabi sudah jelas dan diketahui. Nabi bangun tengah malam lantas shalat malam. Menjelang shubuh beliau bersahur, lalu beristighfar menunggu shubuh. Kemudian beliau shalat Shubuh berjamaah. Setelah itu beliau duduk di masjid, berdzikir hingga waktu syuruq, lalu shalat dua rakaat. Jika tiba waktu dhuha beliau shalat Dhuha, dan seterusnya. Beliau bersedekah, mengunjungi orang sakit, membantu orang yang kesusahan, menjamu tamu… dan seterusnya. Manhaj beliau ma’ruf.”
Nasihat yang mengingatkan sebagian kita yang menyukai tahdzir-mentahdzir agar jangan lupa beramal.
Jangan sampai kita yang mengaku di atas manhaj yang benar dan memberikan porsi yang besar terhadap manhaj, lantas lalai dari beramal shalih.
Jangan sampai kita yang semangat mentahdzir kesalahan orang lain, ternyata orang yang kita tahdzir tersebut lebih perhatian terhadap amal daripada kita.
Saya teringat nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang yang suka mentahdzir tapi kurang suka beramal, sementara orang yang ditahdzir justru lebih semangat dalam beramal.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak orang-orang yang mengingkari bid’ah-bid’ah ibadah dan adat, engkau dapati mereka muqashir (kurang) dalam mengerjakan sunah-sunah dari hal yang berkaitan dengan ibadah, atau dalam ber-amar makruf, menyeru manusia untuk mengerjakan sunah-sunah tersebut (yang berkaitan dengan ibadah).
Dan, mungkin saja keadaan mereka, yang mengingkari bid’ah namun tidak mengerjakan banyak sunah Nabi, justru lebih buruk dari keadaan orang yang melakukan ibadah yang bercampur dengan suatu kemakruhan (Maksud ibnu Taimiyyah dengan kemakruhan di sini adalah kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam penjelasan beliau sebelumnya-pen).
Bahkan, agama itu adalah amar makruf dan nahi mungkar, dan tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali jika bersama dengan yang lainnya. Maka tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali diperintahkan suatu kemakrufan.”
(Iqtidho’ As-Shirootil Mustaqiim II/126.)
Sumber: Firanda.com
No comments:
Post a Comment